Selasa, 15 Desember 2015

Kasta, Catur Wangsa dan Catur Warna

Ini adalah sebuah artikel menarik yg saya baca hari ini. Mengenai kusutnya permasalahan kasta di Bali, death circle yg tidak ada ujung pangkalnya

Majapahitisasi
Pertama, penulisnya menganggap isu kasta serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.

Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan 308 halaman buku ini. Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3) Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan (5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.

Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.

Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.

Rudolf Goris, antropolog yang banyak meneliti Bali, seperti dikutip Kerepun, menyatakan kasta di Bali mulai ada setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Gelar-gelar baru diciptakan khusus untuk Bali karena tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta adalah sekaligus Majapahitisasi.

Lucunya, Jawa sendiri justru tak mengenal sistem kasta. Saya sebagai orang Jawa (Timur) sama sekali tak pernah mendengar tentang kasta ini. Kalau ningrat sih ada, terutama di Jawa Mataraman, seperti Yogyakarta dan Solo, tapi itu bukan sistem kasta.

Kerepun memberikan bukti bahwa zaman Bali kuno tak mengenal sistem kasta. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria. Tak ada gelar, seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda dan semacamnya.

Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang kemudian memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta ini. Ide ini didukung tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga, yang dianggap sebagai orang Bali asli, dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.

Saya pikir ini benar. Buktinya, beberapa desa Bali Aga, misalnya Tenganan Pegeringsingan di Karangasem dan Trunyan di Bangli, tidak mengenal sistem kasta. Struktur adat di dua desa ini egaliter. Tidak ada Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.

Menurut Kerepun, Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu pada India adalah pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Dalam sistem kasta, seseorang akan terlahir secara otomatis dalam kasta sesuai ayahnya. Acuannya nama dan keluarga. Adapun Catur Warna merupakan klasifikasi berdasarkan pekerjaan, bukan darah alias keturunan. Dinamis. Bisa saja namanya Ida Bagus, yang dianggap sebagai Brahmana, tapi bekerja sebagai pelayan, yang disebut Sudra. Sebaliknya, seorang dengan warna Ketut bisa saja jadi pemimpin agama (pemangku).

Istilah wangsa, bahasa lain dari kasta, dan warna sudah tidak cocok lagi di Bali. Cocoknya adalah soroh, warga, gotra, atau klan. Kalau soroh ini, antara lain, adalah Pande, Pasek, dan seterusnya.

Sistem kasta ini kemudian diperkuat pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja dihawajibkan menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di Klungkung.

Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali saat ini. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa oleh kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.

Perselisihan
Kebijakan ini memicu perselisihan bertahun-tahun yang bahkan, setahu saya, masih terjadi hingga saat ini. Tak hanya pertentangan diam-diam tapi juga terbuka. Tak hanya terkait isu politik dan budaya tapi juga hingga agama. Kembar Kerepun menjelaskan semuanya dengan bahasa yang, bagi saya, kadang amat sarkas. Terasa benar antipati dia pada sistem kasta.

Perselisihan ini selalu disebut terjadi antara Triwangsa (terdiri dari Brahmana, Ksatria, dan Waisya) dengan Jaba (Sudra). Salah satu contoh perselisihan yang sering sekali saya baca di buku ataupun artikel tentang Bali adalah antara majalah Bali Adnyana, dikelola Triwangsa, dengan Suryakanta, milik kaum Sudra.

Suryakanta, mewakili kelompok progresif. Melalui media ini para kelompok intelektual Jaba berpendapat Kasta tak perlu dipertahankan. Sebaliknya, Bali Adnyana justru mendukung tetap diberlakukannya sistem kasta sebagai bagian dari pelestarian budaya Bali.

Namun, perselisihan itu terlihat elegan. Mereka saling “menyerang” ide lewat media masing-masing. Setidaknya itu, sih, yang saya lihat. Dengan begitu, diskusi intelektual berkembang. Tak seperti di Bali saat ini yang agak susah mencari tandingan dari wacana arus utama. Tak banyak media yang bisa mewakili suara-suara kritis terhadap Bali saat ini.

Perlawanan terhadap sistem kasta, hampir semuanya dilakukan Jaba. Sumber perlawanan ini karena tidak adilnya sistem kasta bagi mereka. Contohnya, pemerintah kolonial Belanda amat memanjakan Triwangsa dalam hal jabatan ataupun pendidikan.

Anak-anak Jaba tak boleh menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Akibatnya, anak-anak Jaba ini lebih banyak sekolah di Jawa sehingga berpikir lebih terbuka dan progresif.

Tak cuma di bidang pendidikan, perlawanan ini juga terjadi lewat agama. Buku ini menulis beberapa contoh. Dua di antaranya terjadi di Mengwi dan Gianyar. Di dua tempat ini, warga klan Pande melawan kalangan Brahmana yang melarang mereka melakukan upacara tanpa dipimpin pihak Brahmana. Selama 17 tahun melawan, dari 1911 hingga 1928, akhirnya warga Pande diperbolehkan melaksanakan upacara dipimpin seorang empu, bukan pedanda.

Gusti Pones
Namun, perselisihan ini kadang terjadi juga dalam diri seseorang. Ada yang menaikkan kasta dengan cara membayar karena ingin memperoleh status sosial dan adat lebih tinggi. Mereka lalu mengajukan ke Lembaga Peradilan Hindu agar dinaikkan statusnya.

Pada tahun 1910, misalnya, ada 150 warga Jaba yang mengajukan diri agar kastanya naik jadi Gusti, salah satu klan dalam Triwangsa. Dari 150 pemohon, 70 di antaranya dikabulkan untuk naik kasta jadi Triwangsa dengan embel-embel gelar Gusti. Mereka dikenal sebagai Gusti Pones karena dia hadiah dari sidang.

Sebaliknya ada pula orang yang justru menurunkan kastanya sendiri karena merasa kasta yang dia miliki sebelumnya justru mengekang. Buku ini mengutip artikel Majalah SARAD tentang warga Gusti yang nyineb wangsa, bahasa lain dari kasta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar